SEJARAH SINGKAT
NASYIATUL ‘AISYIYAH
Berdirinya
Nasyi'atul Aisyiyah (NA) juga tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan rentang
sejarah Muhammadiyah sendiri yang sangat memperhatikan keberlangsungan kader
penerus perjuangan. Muhammadiyah dalam membangun ummat memerlukan kader-kader
yang tangguh yang akan meneruskan estafet perjuangan dari para pendahulu di
lingkungan Muhammadiyah.
Gagasan
mendirikan NA sebenarnya bermula dari ide Somodirdjo, seorang guru Standart
School Muhammadiyah. Dalam usahanya untuk memajukan Muhammadiyah, ia
menekankan bahwa perjuangan Muhammadiyah akan sangat terdorong dengan adanya
peningkatan mutu ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada para muridnya, baik
dalam bidang spiritual, intelektual, maupun jasmaninya.
Gagasan
Somodirdjo ini digulirkan dalam bentuk menambah pelajaran praktek kepada para
muridnya, dan diwadahi dalam kegiatan bersama. Dengan bantuan Hadjid, seorang
kepala guru agama di Standart School Muhammadiyah, maka pada tahun 1919
Somodirdjo berhasil mendirikan perkumpulan yang anggotanya terdiri dari para
remaja putra-putri siswa Standart School Muhammadiyah. Perkumpulan tersebut
diberi nama Siswa Praja (SP). Tujuan dibentuknya Siswa Praja adalah
menanamkan rasa persatuan, memperbaiki akhlak, dan memperdalam agama.
Pada
awalnya, SP mempunyai ranting-ranting di sekolah Muhammadiyah yang ada, yaitu
di Suronatan, Karangkajen, Bausasran, dan Kotagede. Seminggu sekali anggota
SP Pusat memberi tuntunan ke ranting-ranting. Setelah lima bulan berjalan,
diadakan pemisahan antara anggota laki-laki dan perempuan dalam SP. Kegiatan
SP Wanita dipusatkan di rumah Haji Irsyad (sekarang Musholla Aisyiyah
Kauman). Kegiatan SP Wanita adalah pengajian, berpidato, jama'ah subuh,
membunyikan kentongan untuk membangunkan umat Islam Kauman agar menjalankan
kewajibannya yaitu shalat shubuh, mengadakan peringatan hari-hari besar
Islam, dan kegiatan keputrian.
Perkembangan
SP cukup pesat. Kegiatan-kegiatan yang dilakukannya mulai segmented dan
terklasifikasi dengan baik. Kegiatan Thalabus Sa'adah diseleng-gerakan untuk
anak-anak di atas umur 15 tahun. Aktivitas Tajmilul Akhlak diadakan untuk
anak-anak berumur 10-15 tahun. Dirasatul Bannat diselenggarakan dalam bentuk
pengajian sesudah Maghrib bagi anak-anak kecil. Jam'iatul Athfal dilaksanakan
seminggu dua kali untuk anak-anak yang berumut 7-10 tahun. Sementara itu juga
diselenggarakan tamasya ke luar kota setiap satu bulan sekali.
Kegiatan
SP Wanita merupakan terobosan yang inovatif dalam melakukan emansipasi wanita
di tengah kultur masyarakat feodal saat itu. Kultur patriarkhis saat itu
benar-benar mendomestifikasi wanita dalam kegiatan-kegiatan rumah tangga.
Para orang tua seringkali melarang anak perempuannya keluar rumah untuk
aktifitas-aktifitas yang emansipatif. Namun dengan munculnya SP Wanita,
kultur patriarkhis dan feodal tersebut bisa didobrak. Hadirnya SP Wanita
sangat dirasakan manfaatnya, karena SP Wanita membekali wanita dan
putri-putri Muhammadiyah dengan berbagai pengetahuan dan ketrampilan.
Pada
tahun 1923, SP Wanita mulai diintegrasikan menjadi urusan Aisyiyah.
Perkembangan selanjutnya, yaitu pada tahun 1924, SP Wanita telah mampu
mendirikan Bustanul Athfal, yakni suatu gerakan untuk membina anak laki-laki
dan perempuan yang berumur 4-5 tahun. Pelajaran pokok yang diberikan adalah
dasar-dasar keislaman pada anak-anak. SP Wanita juga menerbitkan buku
nyanyian berbahasa Jawa dengan nama Pujian Siswa Praja. Pada tahun 1926,
kegiatan SP Wanita sudah menjangkau cabang-cabang di luar Yogyakarta.
Pada
tahun 1929, Konggres Muhammadiyah yang ke-18 memutuskan bahwa semua cabang
Muhammadiyah diharuskan mendirikan SP Wanita dengan sebutan Aisyiyah Urusan
Siswa Praja. Pada tahun 1931 dalam Konggres Muhammadiyah ke-20 di Yogyakarta
diputuskan semua nama gerakan dalam Muhammadiyah harus memakai bahasa Arab
atau bahasa Indonesia, karena cabang-cabang Muham-madiyah di luar Jawa sudah
banyak yang didirikan (saat itu Muhammadiyah telah mempunyai cabang kurang
lebih 400 buah). Dengan adanya keputusan itu, maka nama Siswa Praja Wanita
diganti menjadi Nasyi'atul Aisyiyah (NA) yang masih di bawah koordinasi
Aisyiyah.
Tahun
1935 NA melaksanakan kegiatan yang semakin agresif menurut ukuran saat itu.
Mereka menga-dakan shalat Jum'at bersama-sama, mengadakan tabligh ke berbagai
daerah, dan kursus administrasi. Kegiatan-kegiatan tersebut merupakan
aktifitas yang tidak wajar dilaksanakan oleh wanita pada saat itu.
Pada
Konggres Muhammadiyah ke-26 tahun 1938 di Yogyakarta diputuskan bahwa Simbol
Padi menjadi simbol NA, yang sekaligus juga menetapkan nyanyian Simbol Padi
sebagai Mars NA. Perkembangan NA semakin pesat pada tahun 1939 dengan
diseleng-garakannya Taman Aisyiyah yang mengakomodasikan potensi, minat, dan
bakat putri-putri NA untuk dikem-bangkan. Selain itu, Taman Aisyiyah juga
menghimpun lagu-lagu yang dikarang oleh komponis-komponis Muhammadiyah dan
dibukukan dengan diberi nama Kumandang Nasyi'ah.
Pada masa sekitar revolusi, percaturan politik
dunia yang mempengaruhi Indonesia membawa
akibat yang besar atas kehidupan masyarakat. Organisasi NA mengalami
kemacetan. NA hampir tidak terdengar lagi perannya di tengah-tengah
masyarakat. Baru setelah situasi mengijinkan, tahun 1950, Muhammadiyah
mengadakan Muktamar untuk mendinamisasikan gerak dan langkahnya. Muktamar
tersebut memutuskan bahwa Aisyiyah ditingkatkan menjadi otonom. NA dijadikan
bagian yang diistimewakan dalam Aisyiyah, sehingga terbentuk Pimpinan
Aisyiyah seksi NA di seluruh level pimpinan Aisyiyah. Dengan demikian, hal
ini berarti NA berhak mengadakan konferensi tersendiri.
Pada
Muktamar Muhammadiyah di Palembang tahun 1957, dari Muktamar Aisyiyah
disampaikan sebuah prasaran untuk mengaktifkan anggota NA yang pokok isinya
mengharapkan kepada Aisyiyah untuk memberi hak otonom kepada NA. Prasaran
tersebut disampaikan oleh Baroroh. Selanjutnya pada Muktamar Muham-madiyah di
Jakarta pada tahun 1962, NA diberi kesempatan untuk mengadakan musyawarah
tersendiri. Kesempatan ini dipergunakan sebaik-baiknya oleh NA dengan
menghasilkan rencana kerja yang tersistematis sebagai sebuah organisasi.
Pada
Sidang Tanwir Muhammadiyah tahun 1963 diputuskan untuk memberi status otonom
kepada NA. Di bawah kepemimpinan Majelis Bimbingan Pemuda, NA yang saat itu
diketuai oleh Siti Karimah mulai mengadakan persiapan-persiapan untuk
mengadakan musyawarahnya yang pertama di Bandung. Dengan didahului mengadakan
konferensi di Solo, maka berhasillah NA dengan munasnya pada tahun 1965
bersama-sama dengan Muktamar Muhammadiyah dan Aisyiyah di Bandung. Dalam
Munas yang pertama kali, tampaklah wajah-wajah baru dari 33 daerah dan 166
cabang dengan penuh semangat, akhirnya dengan secara organisatoris NA
berhasil mendapatkan status yang baru sebagai organisasi otonom Muhammadiyah.
Pimpinan Pusat Nasyiatul ‘Aisyiyah hasil Muktamar I
tahun 1965 merupakan Pimpinan
Perintis. Muktamar I berhasil memilih Dra. Siti Chamamah Soeratno (sekarang
Ketua PP ‘Aisyiyah) sebagai Ketua Umum PPNA periode 1965 – 1968. Dalam
periode ini PPNA mendapat amanat untuk merealisasikan hal-hal pokok sebagai
berikut:
a.
Memantapkan
Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah seksi Nasyiatul ‘Aisyiyah menjadi Pimpinan Pusat
Nasyiatul ‘Aisyiyah definitive otonomi.
b.
Menetapkan
Pimpinan Pusat Nasyiatul ‘Aisyiyah berkedudukan di teampat kedudukan Pimpinan
Pusat Muhammadiyah.
c.
Mengganti
Anggaran Pokok Nasyiatul ‘Aisyiyah menjadi Anggaran Dasar Nasyiatul
‘Aisyiyah.
d.
Menetapkan
program kerja Pimpinan Pusat Nasyiatul ‘Aisyiyah
e.
Menyeragamkan
perlengkapan Administrasi.
Periode kepemimpinan yang pertama mempunyai
kesempatan untuk mewujudkan dan menunjukkan bahwa Nasyiatul ‘Aisyiyah mampu
berdiri sendiri sebagai organisasi otonom di lingkungan Muhammadiyah.
Selanjutnya sesuai program kerja yang putuskan dalam Munas I di Bandung,
Nasyiatul ‘Aisyiyah mulai berkiprah dalam berbagai bidang, anatar lain:
a.
Dalam
bidang social politik, Nasyiatul ‘Aisyiyah ikut kursus sukarelawati (suswati)
yang marak pada saat itu.
b.
Dalam
bidang perkaderan organisasi, Nasyiatul ‘Aisyiyah menggalakkan kursus kader
dan training center.
c.
Dalam
bidang dakwah, Nasyiatul ‘Aisyiyah menyelenggarakan kursus mubalighot hijrah
dan mengisi siaran “ Taman Nasyiah” di RRI sebulan sekali setiap jum’at
sekali pecan pertama serta menyelenggarakan Mushabaqah Tilawatil Qur’an.
d.
Dalam
bidang kepemudaan, Nasyiatul ‘Aisyiyah menyelenggarakan kegiatan olah raga,
baris berbaris, latihan gendering, apresiasi bidang seni, seperti pembacaan
puisi, drama dan seni suara.
Muktamar II Nasyiatul ‘Aisyiyah di Yogyakarta tahun
1968 menetapkan Pimpinan Pusat Nasyiatul ‘Aisyiyah periode 1968-1971 dengan
Ketua saudari Rusdiyanti. Dalam periode ini ditetapkan beberapa keputusan
antara lain:
a.
Menyempurnakan
AD/ART Nasyiatul ‘Aisyiyah.
b.
Menetapkan
tuntunan kepribadian Nasyiatul ‘Aisyiyah
c.
Kaderisasi
Nasyiatul ‘Aisyiyah
d.
Tuntunan
dakwah praktis
e.
Tuntunan
Popularisasi Nasyiatul ‘Aisyiyah
Muktamar Nasyiatul ‘Aisyiyah III di Ujung Pandang,
menetapkan Pimpinan Pusat Nasyiatul ‘Aisyiyah periode 1971 – 1974 dengan
ketua umum saudari Sulistyawati Djaldan. Beberapa kepususan penting yang
ditetapkan dalam periode ini antara lain adalah:
a.
Mengadakan
system dan periode pendidikan kader Nasyiatul
‘Aisyiyah.
b.
Menyusun
tuntunan pelaksanaaan dakwah
c.
Menyusun
silabus kesejahteraan keluarga.
d.
Melaksanakan
pembinaan organisasi, antara lain menyempurnakan AD/ART .
Pimpinan Pusat Nasyiatul ‘Aisyiyah periode 1974 –
1977 sebagai hasil muktamar IV di Padang kembali diketuai oleh saudari Dra.
Sulistyawati Djaldan, agak mengalami stagnasi disebabkan karena sebagian
anggota pimpinan tidak mencurahkan perhatiannya sedemikian rupa karena alasan
alami sebagai perempuan. Dalam periode ini sebenarnya yang yang menjadi titik
berat perhatian adalah pembinaan pimpinan.
Pimpinan Pusat Nasyiatul ‘Aisyiyah periode 1978 –
1984 lebih menitikberatkan pengaktifan kembali kegiatan Nasyiatul ‘Aisyiyah,
terutama dalam kajian Islam, konsolidasi organisasi, kegiatan keputrian dan
ketrampilan. Periode ini adalah masih di ketuai Dra. Sulistyawati Djaldan.
Periode panjangnya sama halnya dengan kepemimpinan di dalam tubuh
Muhammadiyah yang terpengaruh oleh kondisi social politik Indonesia saat itu.
Muktamar
Nasyiatul ‘Aisyiyah yang diselenggarakan di Surakarta menghasilkan
kepengurusan Pimpinan Pusat Nasyiatul ‘Aisyiyah periode 1985 – 1990 yang
diketuai oleh saudari Chalifah Syukri. Inti program kerja pada periode ini
adalah memprioritaskan Nasyiatul ‘Aisyiyah sebagai organisasi otonom
Muhammadiyah yang bergerak dibidang Dakwah Islam Amar Ma’ruf Nahi Munkar dan
mencanangkan tujuan umum sebagai berikut:
a.
Terwujudnya
Nasyiatul ‘Aisyiyah yang memiliki kemantapan beragama dan berorganisasi dan kematangan berfikir,
kedewasaan bersikap sebagai putrid
yang trampil dan berkepribadian Islami.
b.
Terwujudnya
fungsi organisasi sebagai pelopor, pelangsung dan penyempurna amal usaha
Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah serta
program pemerintah dibidang pembinaan dn pengembangan generasi muda.
Muktamar Nasyiatul ‘Aisyiyah VII pada tahun 1990 di
Yogyakarta menghasilkan kepengurusan Pimpinan Pusat Nasyiatul ‘Aisyiyah
periode tahun 1990 – 1995 diketuai oleh Dra. Siti Noorjanah Djohantini.
Mengambil tema”Kepeloporan Nasyiatul ‘Aisyiyah dalam membina Akhlaq Menuju
Peningkatan Nyata Generasi Muda”.
Muktamar Nasyiatul ‘Aisyiyah VIII di Banda Aceh
bertemakan”Aktualisasi Gerakan Dakwah Nasyiatul ‘Aisyiyah dalam Pembinaan
Akhlaq dan Pengembangan Sumber Daya Manusia pada Progam Jangka Panjang II”.
Dalam periode ini PPNA diketuai oleh Dra. Dyah Siti Nur’aini. Periode ini
merupakan tahap ketiga dari program jangka panjang, dengan penekanan pada
program bidang kemasyarakatan yang pelaksananya bertumpu pada pelatihan non
formal dengan pilot project dakwah terpadu. Periode ini banyak sekali program
Nasyiatul ‘Aisyiyah untuk pemberdayaan perempuan.
Muktamar Nasyiatul ‘Aisyiyah IX yang dilaksanakan
pada tanggal 8 – 11 Juli 2000 di Jakarta merupakan “Muktamar Milenium” karena
dilaksanakan pada abad ke 21. Muktamar ini sekaligus sebagai muktamar
perpisahan karena diputuskan bahwa periode kepemimpinan pusat adalah 4 tahun,
dengan demikian Muktamar Nasyiatul ‘Aisyiah mendatang bersifat mandiri. Pada muktamar ini menghasilkan ketua umum
yaitu saudari Trias Setiawati, M.Si, juga menghasilkan program kerja berkait
dengan pemberdayaan perempuan. Pada masa sekarang Nasyiatul ‘Aisyiyah
dihadapkan pada masalah-masalah yang semakin komplek dan multi dimensi. Sehingga
Nasyiatul ‘Aisyiyah diharapkan mampu dan tanggap menghadapi berbagai
perubahan tanpa meninggalkan jati dirinya sebagai organisasi putrid Islam,
sebagai pelopor, penyempurna dan pelangsung amal usaha Muhammadiyah.
Muktamar Nasyiatul ‘Aisyiyah X diselenggarakan di
Asrama HAji Donohudan Boyolali Jawa Tengah pada tanggal 9 11 Desember 2004,
pada muktamar ini menghasilkan kepemimpinan pusat yang diketuai oleh Evi
Sofia Inayati. Muktamar ini merupakan muktamar mandiri yang dilaksanakan oleh
Nasyiatul ‘Aisyiyah dengan periode kepemimpinan 4 tahun yaitu tahun 2004 –
2008. Periode ini merupakan periode akhir dari program jangka panjang
Nasyiatul ‘Aisyiyah dengan prioritas program keummatan. Program keummatan
didasarkan pada dua hal pokok yakni:
1.
Bidang,
sasaran utama, dan sasaran strategis Nasyiatul ‘Aisyiyah di semua tingkat
pimpinan disusun bertumpu pada kebutuhan, kepentingan dan kemanfaatannya bagi
ummat secara menyeluruh.
2.
Pelaksanaan
program keummatan mendasarkan pada tindakan ataupun aksi yang merupakan hasil
refreksi dari realitas kehidupan umat maupun refleksi terhadap teoti
kehidupan masyarakat.
Muktamar Nasyiatul ‘Aisyiyah XI diselenggarakan di
Makassar pada tanggal 18 – 21 Nopember 2008, dari muktamar ini menghasilkan Ketua
Pimpinan Pusat Nasyiatul ‘Aisyiyah yiatu Abidah Muflichati, M.Ag yang merupakan
anggota Departemen Kader periode 2004 – 2008 dan transformasi kader dari PP
Ikatan Pelajar Muhammadiyah. Cita-cita Nasyiatul ‘Aisyiyah kedepan adalah
mampu mewujudkan:
1.
Kualifikasi
kader bangsa dan umat yang berfikir terbuka, memiliki etos kerja yang tinggi,
istiqomah, dan komitmen yang tinggi terhadap perjuangan dan dakwah Islam amar
ma’ruf nahi munkar.
2.
Organisasi
Nasyiatul ‘Aisyiyah menjadi organisasi yang professional, berkembang secara
kuantitas sesuai pengembangan dan pemekaran wilayah Indonesia serta memiliki
pengaruh terhadap dunia nasional
maupun internasional.
3.
Berbagai
sumber pembelajaran untuk keluarga antara lain berupa lembaga yang memberikan
perlindungan dan pendampingan terhadap permasalahan anak dan perempuan.
|
0 comments:
Post a Comment