23 Jan 2013

Sejarah NA




SEJARAH  SINGKAT NASYIATUL ‘AISYIYAH

Berdirinya Nasyi'atul Aisyiyah (NA) juga tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan rentang sejarah Muhammadiyah sendiri yang sangat memperhatikan keberlangsungan kader penerus perjuangan. Muhammadiyah dalam membangun ummat memerlukan kader-kader yang tangguh yang akan meneruskan estafet perjuangan dari para pendahulu di lingkungan Muhammadiyah.
Gagasan mendirikan NA sebenarnya bermula dari ide Somodirdjo, seorang guru Standart School Muhammadiyah. Dalam usahanya untuk memajukan Muhammadiyah, ia menekankan bahwa perjuangan Muhammadiyah akan sangat terdorong dengan adanya peningkatan mutu ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada para muridnya, baik dalam bidang spiritual, intelektual, maupun jasmaninya.
Gagasan Somodirdjo ini digulirkan dalam bentuk menambah pelajaran praktek kepada para muridnya, dan diwadahi dalam kegiatan bersama. Dengan bantuan Hadjid, seorang kepala guru agama di Standart School Muhammadiyah, maka pada tahun 1919 Somodirdjo berhasil mendirikan perkumpulan yang anggotanya terdiri dari para remaja putra-putri siswa Standart School Muhammadiyah. Perkumpulan tersebut diberi nama Siswa Praja (SP). Tujuan dibentuknya Siswa Praja adalah menanamkan rasa persatuan, memperbaiki akhlak, dan memperdalam agama.
Pada awalnya, SP mempunyai ranting-ranting di sekolah Muhammadiyah yang ada, yaitu di Suronatan, Karangkajen, Bausasran, dan Kotagede. Seminggu sekali anggota SP Pusat memberi tuntunan ke ranting-ranting. Setelah lima bulan berjalan, diadakan pemisahan antara anggota laki-laki dan perempuan dalam SP. Kegiatan SP Wanita dipusatkan di rumah Haji Irsyad (sekarang Musholla Aisyiyah Kauman). Kegiatan SP Wanita adalah pengajian, berpidato, jama'ah subuh, membunyikan kentongan untuk membangunkan umat Islam Kauman agar menjalankan kewajibannya yaitu shalat shubuh, mengadakan peringatan hari-hari besar Islam, dan kegiatan keputrian.
Perkembangan SP cukup pesat. Kegiatan-kegiatan yang dilakukannya mulai segmented dan terklasifikasi dengan baik. Kegiatan Thalabus Sa'adah diseleng-gerakan untuk anak-anak di atas umur 15 tahun. Aktivitas Tajmilul Akhlak diadakan untuk anak-anak berumur 10-15 tahun. Dirasatul Bannat diselenggarakan dalam bentuk pengajian sesudah Maghrib bagi anak-anak kecil. Jam'iatul Athfal dilaksanakan seminggu dua kali untuk anak-anak yang berumut 7-10 tahun. Sementara itu juga diselenggarakan tamasya ke luar kota setiap satu bulan sekali.
Kegiatan SP Wanita merupakan terobosan yang inovatif dalam melakukan emansipasi wanita di tengah kultur masyarakat feodal saat itu. Kultur patriarkhis saat itu benar-benar mendomestifikasi wanita dalam kegiatan-kegiatan rumah tangga. Para orang tua seringkali melarang anak perempuannya keluar rumah untuk aktifitas-aktifitas yang emansipatif. Namun dengan munculnya SP Wanita, kultur patriarkhis dan feodal tersebut bisa didobrak. Hadirnya SP Wanita sangat dirasakan manfaatnya, karena SP Wanita membekali wanita dan putri-putri Muhammadiyah dengan berbagai pengetahuan dan ketrampilan.
Pada tahun 1923, SP Wanita mulai diintegrasikan menjadi urusan Aisyiyah. Perkembangan selanjutnya, yaitu pada tahun 1924, SP Wanita telah mampu mendirikan Bustanul Athfal, yakni suatu gerakan untuk membina anak laki-laki dan perempuan yang berumur 4-5 tahun. Pelajaran pokok yang diberikan adalah dasar-dasar keislaman pada anak-anak. SP Wanita juga menerbitkan buku nyanyian berbahasa Jawa dengan nama Pujian Siswa Praja. Pada tahun 1926, kegiatan SP Wanita sudah menjangkau cabang-cabang di luar Yogyakarta.
Pada tahun 1929, Konggres Muhammadiyah yang ke-18 memutuskan bahwa semua cabang Muhammadiyah diharuskan mendirikan SP Wanita dengan sebutan Aisyiyah Urusan Siswa Praja. Pada tahun 1931 dalam Konggres Muhammadiyah ke-20 di Yogyakarta diputuskan semua nama gerakan dalam Muhammadiyah harus memakai bahasa Arab atau bahasa Indonesia, karena cabang-cabang Muham-madiyah di luar Jawa sudah banyak yang didirikan (saat itu Muhammadiyah telah mempunyai cabang kurang lebih 400 buah). Dengan adanya keputusan itu, maka nama Siswa Praja Wanita diganti menjadi Nasyi'atul Aisyiyah (NA) yang masih di bawah koordinasi Aisyiyah.
Tahun 1935 NA melaksanakan kegiatan yang semakin agresif menurut ukuran saat itu. Mereka menga-dakan shalat Jum'at bersama-sama, mengadakan tabligh ke berbagai daerah, dan kursus administrasi. Kegiatan-kegiatan tersebut merupakan aktifitas yang tidak wajar dilaksanakan oleh wanita pada saat itu.
Pada Konggres Muhammadiyah ke-26 tahun 1938 di Yogyakarta diputuskan bahwa Simbol Padi menjadi simbol NA, yang sekaligus juga menetapkan nyanyian Simbol Padi sebagai Mars NA. Perkembangan NA semakin pesat pada tahun 1939 dengan diseleng-garakannya Taman Aisyiyah yang mengakomodasikan potensi, minat, dan bakat putri-putri NA untuk dikem-bangkan. Selain itu, Taman Aisyiyah juga menghimpun lagu-lagu yang dikarang oleh komponis-komponis Muhammadiyah dan dibukukan dengan diberi nama Kumandang Nasyi'ah.
Pada masa sekitar revolusi, percaturan politik dunia yang mempengaruhi Indonesia membawa akibat yang besar atas kehidupan masyarakat. Organisasi NA mengalami kemacetan. NA hampir tidak terdengar lagi perannya di tengah-tengah masyarakat. Baru setelah situasi mengijinkan, tahun 1950, Muhammadiyah mengadakan Muktamar untuk mendinamisasikan gerak dan langkahnya. Muktamar tersebut memutuskan bahwa Aisyiyah ditingkatkan menjadi otonom. NA dijadikan bagian yang diistimewakan dalam Aisyiyah, sehingga terbentuk Pimpinan Aisyiyah seksi NA di seluruh level pimpinan Aisyiyah. Dengan demikian, hal ini berarti NA berhak mengadakan konferensi tersendiri.
Pada Muktamar Muhammadiyah di Palembang tahun 1957, dari Muktamar Aisyiyah disampaikan sebuah prasaran untuk mengaktifkan anggota NA yang pokok isinya mengharapkan kepada Aisyiyah untuk memberi hak otonom kepada NA. Prasaran tersebut disampaikan oleh Baroroh. Selanjutnya pada Muktamar Muham-madiyah di Jakarta pada tahun 1962, NA diberi kesempatan untuk mengadakan musyawarah tersendiri. Kesempatan ini dipergunakan sebaik-baiknya oleh NA dengan menghasilkan rencana kerja yang tersistematis sebagai sebuah organisasi.
Pada Sidang Tanwir Muhammadiyah tahun 1963 diputuskan untuk memberi status otonom kepada NA. Di bawah kepemimpinan Majelis Bimbingan Pemuda, NA yang saat itu diketuai oleh Siti Karimah mulai mengadakan persiapan-persiapan untuk mengadakan musyawarahnya yang pertama di Bandung. Dengan didahului mengadakan konferensi di Solo, maka berhasillah NA dengan munasnya pada tahun 1965 bersama-sama dengan Muktamar Muhammadiyah dan Aisyiyah di Bandung. Dalam Munas yang pertama kali, tampaklah wajah-wajah baru dari 33 daerah dan 166 cabang dengan penuh semangat, akhirnya dengan secara organisatoris NA berhasil mendapatkan status yang baru sebagai organisasi otonom Muhammadiyah.
Pimpinan Pusat Nasyiatul ‘Aisyiyah hasil Muktamar I tahun 1965  merupakan Pimpinan Perintis. Muktamar I berhasil memilih Dra. Siti Chamamah Soeratno (sekarang Ketua PP ‘Aisyiyah) sebagai Ketua Umum PPNA periode 1965 – 1968. Dalam periode ini PPNA mendapat amanat untuk merealisasikan hal-hal pokok sebagai berikut:
a.              Memantapkan Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah seksi Nasyiatul ‘Aisyiyah menjadi Pimpinan Pusat Nasyiatul ‘Aisyiyah definitive otonomi.
b.              Menetapkan Pimpinan Pusat Nasyiatul ‘Aisyiyah berkedudukan di teampat kedudukan Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
c.              Mengganti Anggaran Pokok Nasyiatul ‘Aisyiyah menjadi Anggaran Dasar Nasyiatul ‘Aisyiyah.
d.              Menetapkan program kerja Pimpinan Pusat Nasyiatul ‘Aisyiyah
e.              Menyeragamkan perlengkapan Administrasi.
Periode kepemimpinan yang pertama mempunyai kesempatan untuk mewujudkan dan menunjukkan bahwa Nasyiatul ‘Aisyiyah mampu berdiri sendiri sebagai organisasi otonom di lingkungan Muhammadiyah. Selanjutnya sesuai program kerja yang putuskan dalam Munas I di Bandung, Nasyiatul ‘Aisyiyah mulai berkiprah dalam berbagai bidang, anatar lain:
a.              Dalam bidang social politik, Nasyiatul ‘Aisyiyah ikut kursus sukarelawati (suswati) yang marak pada saat itu.
b.              Dalam bidang perkaderan organisasi, Nasyiatul ‘Aisyiyah menggalakkan kursus kader dan training center.
c.              Dalam bidang dakwah, Nasyiatul ‘Aisyiyah menyelenggarakan kursus mubalighot hijrah dan mengisi siaran “ Taman Nasyiah” di RRI sebulan sekali setiap jum’at sekali pecan pertama serta menyelenggarakan Mushabaqah Tilawatil Qur’an.
d.              Dalam bidang kepemudaan, Nasyiatul ‘Aisyiyah menyelenggarakan kegiatan olah raga, baris berbaris, latihan gendering, apresiasi bidang seni, seperti pembacaan puisi, drama dan seni suara.
Muktamar II Nasyiatul ‘Aisyiyah di Yogyakarta tahun 1968 menetapkan Pimpinan Pusat Nasyiatul ‘Aisyiyah periode 1968-1971 dengan Ketua saudari Rusdiyanti. Dalam periode ini ditetapkan beberapa keputusan antara lain:
a.              Menyempurnakan AD/ART Nasyiatul ‘Aisyiyah.
b.              Menetapkan tuntunan kepribadian Nasyiatul ‘Aisyiyah
c.              Kaderisasi Nasyiatul ‘Aisyiyah
d.              Tuntunan dakwah praktis
e.              Tuntunan Popularisasi Nasyiatul ‘Aisyiyah
Muktamar Nasyiatul ‘Aisyiyah III di Ujung Pandang, menetapkan Pimpinan Pusat Nasyiatul ‘Aisyiyah periode 1971 – 1974 dengan ketua umum saudari Sulistyawati Djaldan. Beberapa kepususan penting yang ditetapkan dalam periode ini antara lain adalah:
a.              Mengadakan system dan periode pendidikan kader  Nasyiatul ‘Aisyiyah.
b.              Menyusun tuntunan pelaksanaaan dakwah
c.              Menyusun silabus kesejahteraan keluarga.
d.              Melaksanakan pembinaan organisasi, antara lain menyempurnakan AD/ART .
Pimpinan Pusat Nasyiatul ‘Aisyiyah periode 1974 – 1977 sebagai hasil muktamar IV di Padang kembali diketuai oleh saudari Dra. Sulistyawati Djaldan, agak mengalami stagnasi disebabkan karena sebagian anggota pimpinan tidak mencurahkan perhatiannya sedemikian rupa karena alasan alami sebagai perempuan. Dalam periode ini sebenarnya yang yang menjadi titik berat perhatian adalah pembinaan pimpinan.
Pimpinan Pusat Nasyiatul ‘Aisyiyah periode 1978 – 1984 lebih menitikberatkan pengaktifan kembali kegiatan Nasyiatul ‘Aisyiyah, terutama dalam kajian Islam, konsolidasi organisasi, kegiatan keputrian dan ketrampilan. Periode ini adalah masih di ketuai Dra. Sulistyawati Djaldan. Periode panjangnya sama halnya dengan kepemimpinan di dalam tubuh Muhammadiyah yang terpengaruh oleh kondisi social politik Indonesia saat itu.
Muktamar  Nasyiatul ‘Aisyiyah yang diselenggarakan di Surakarta menghasilkan kepengurusan Pimpinan Pusat Nasyiatul ‘Aisyiyah periode 1985 – 1990 yang diketuai oleh saudari Chalifah Syukri. Inti program kerja pada periode ini adalah memprioritaskan Nasyiatul ‘Aisyiyah sebagai organisasi otonom Muhammadiyah yang bergerak dibidang Dakwah Islam Amar Ma’ruf Nahi Munkar dan mencanangkan tujuan umum sebagai berikut:
a.              Terwujudnya Nasyiatul ‘Aisyiyah yang memiliki kemantapan beragama dan  berorganisasi dan kematangan berfikir, kedewasaan  bersikap sebagai putrid yang trampil dan berkepribadian Islami.
b.              Terwujudnya fungsi organisasi sebagai pelopor, pelangsung dan penyempurna amal usaha Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah serta program pemerintah dibidang pembinaan dn pengembangan generasi muda.
Muktamar Nasyiatul ‘Aisyiyah VII pada tahun 1990 di Yogyakarta menghasilkan kepengurusan Pimpinan Pusat Nasyiatul ‘Aisyiyah periode tahun 1990 – 1995 diketuai oleh Dra. Siti Noorjanah Djohantini. Mengambil tema”Kepeloporan Nasyiatul ‘Aisyiyah dalam membina Akhlaq Menuju Peningkatan Nyata Generasi Muda”.
Muktamar Nasyiatul ‘Aisyiyah VIII di Banda Aceh bertemakan”Aktualisasi Gerakan Dakwah Nasyiatul ‘Aisyiyah dalam Pembinaan Akhlaq dan Pengembangan Sumber Daya Manusia pada Progam Jangka Panjang II”. Dalam periode ini PPNA diketuai oleh Dra. Dyah Siti Nur’aini. Periode ini merupakan tahap ketiga dari program jangka panjang, dengan penekanan pada program bidang kemasyarakatan yang pelaksananya bertumpu pada pelatihan non formal dengan pilot project dakwah terpadu. Periode ini banyak sekali program Nasyiatul ‘Aisyiyah untuk pemberdayaan perempuan.
Muktamar Nasyiatul ‘Aisyiyah IX yang dilaksanakan pada tanggal 8 – 11 Juli 2000 di Jakarta merupakan “Muktamar Milenium” karena dilaksanakan pada abad ke 21. Muktamar ini sekaligus sebagai muktamar perpisahan karena diputuskan bahwa periode kepemimpinan pusat adalah 4 tahun, dengan demikian Muktamar Nasyiatul ‘Aisyiah mendatang bersifat mandiri.  Pada muktamar ini menghasilkan ketua umum yaitu saudari Trias Setiawati, M.Si, juga menghasilkan program kerja berkait dengan pemberdayaan perempuan. Pada masa sekarang Nasyiatul ‘Aisyiyah dihadapkan pada masalah-masalah yang semakin komplek dan multi dimensi. Sehingga Nasyiatul ‘Aisyiyah diharapkan mampu dan tanggap menghadapi berbagai perubahan tanpa meninggalkan jati dirinya sebagai organisasi putrid Islam, sebagai pelopor, penyempurna dan pelangsung amal usaha Muhammadiyah.
Muktamar Nasyiatul ‘Aisyiyah X diselenggarakan di Asrama HAji Donohudan Boyolali Jawa Tengah pada tanggal 9 11 Desember 2004, pada muktamar ini menghasilkan kepemimpinan pusat yang diketuai oleh Evi Sofia Inayati. Muktamar ini merupakan muktamar mandiri yang dilaksanakan oleh Nasyiatul ‘Aisyiyah dengan periode kepemimpinan 4 tahun yaitu tahun 2004 – 2008. Periode ini merupakan periode akhir dari program jangka panjang Nasyiatul ‘Aisyiyah dengan prioritas program keummatan. Program keummatan didasarkan pada dua hal pokok yakni:
1.                Bidang, sasaran utama, dan sasaran strategis Nasyiatul ‘Aisyiyah di semua tingkat pimpinan disusun bertumpu pada kebutuhan, kepentingan dan kemanfaatannya bagi ummat secara menyeluruh.
2.              Pelaksanaan program keummatan mendasarkan pada tindakan ataupun aksi yang merupakan hasil refreksi dari realitas kehidupan umat maupun refleksi terhadap teoti kehidupan masyarakat.
Muktamar Nasyiatul ‘Aisyiyah XI diselenggarakan di Makassar pada tanggal 18 – 21 Nopember 2008, dari muktamar ini menghasilkan Ketua Pimpinan Pusat Nasyiatul ‘Aisyiyah yiatu Abidah Muflichati, M.Ag yang merupakan anggota Departemen Kader periode 2004 – 2008 dan transformasi kader dari PP Ikatan Pelajar Muhammadiyah. Cita-cita Nasyiatul ‘Aisyiyah kedepan adalah mampu mewujudkan:
1.                Kualifikasi kader bangsa dan umat yang berfikir terbuka, memiliki etos kerja yang tinggi, istiqomah, dan komitmen yang tinggi terhadap perjuangan dan dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar.
2.              Organisasi Nasyiatul ‘Aisyiyah menjadi organisasi yang professional, berkembang secara kuantitas sesuai pengembangan dan pemekaran wilayah Indonesia serta memiliki pengaruh terhadap dunia  nasional maupun internasional.
3.              Berbagai sumber pembelajaran untuk keluarga antara lain berupa lembaga yang memberikan perlindungan dan pendampingan terhadap permasalahan anak dan perempuan.

0 comments: