GLOBALISASI, TRANS-NASIONALISME
DAN POSISI MUHAMMADIYAH
Oleh : Husni Amriyanto
Dosen
Hub. Internasional FISIP Univ. Muh. Yogyakarta
GLOBALISASI telah menjadi isu yang sangat populer dalam masyarakat dalam waktu tiga dekade terakhir. Dalam banyak kesempatan, berbagai lapisan masyarakat membicarakan globalisasi sebagai sesuatu hal yang sangat konsekuensi dalam hubungan antar komunitas, baik dalam skala individu, kelompok, maupun skala negara. Teknologi informasi yang berkembang dengan cepat, disertai dengan kemampuan masyarakat untuk mengakses teknologi informasi dengan sangat mudah, telah menjadikan dunia ini terasa tidak berjarak sama sekali. Kita akan dapat mengetahui bencana alam di manapun di belahan dunia ini dalam hitungan menit, bahkan detik. Kita akan dapat menyaksikan suatu peristiwa di benua yang lain pada saat yang bersamaan. Individu di satu negara dapat berbicara, bahkan saling menatap dengan individu di negara lain pada saat yang bersamaan melalui layar handphone. Semua itu dapat dinikmati karena kemajuan teknologi informasi. Dunia hampir tidak berjarak.
Situasi yang ada tersebut seolah-olah menempatkan masing-masing komunitas berada dalam wilayah yang saling berdekatan secara geografis. Hal ini menyerupai hubungan antar polis (city state) pada zaman Yunani . Pada masa itu, negara-negara terbagi atas wilayah-wilayah yang relatif kecil secara geografis dan dipimpin oleh Pangeran. Mengingat jaraknya yang tidak terlalu jauh, interaksi antar polis juga sangat dinamis. Hal yang sama juga terjadi pada masa kekhalifahan Islam, terutama masa-masa awal perkembangan kekuasaan Islam. Di bumi Nusantara, kita juga dapat menyaksikan tumbuhnya kerajaan-kerajaan kecil yang dipimpin oleh seorang Raja atau Sultan dengan wilayah yang juga tidak luas. Kondisi seperti itu telah memudahkan pemerintahan kolonial untuk melakukan politik adu domba (devide et impera) dalam rangka memecah belah persatuan dan kesatuan masyarakat Nusantara. Sejalan dengan adanya kesadaran untuk berbangsa dan bernegara, penduduk atau rakyat di bumi Nusantara semakin menyadari akan pentingannya suatu bentuk sistem negara modern, yang kemudian melahirkan negara bangsa atau nations state, yakni bangsa Indonesia.
Sistem negara dapat dilihat sejak zaman Yunani Kuno . Sistem ini juga diadopsi oleh Romawi dengan model dan bentuk yang spesifik Romawi. Sistem ini selanjutnya berkembang dengan model dan cara yang selalu disesuaikan dengan perkembangan masyarakat negara masing-masing. Bentuk-bentuk pemerintahan yang Monarki atau Republik bukanlah hal yang penting untuk diperdebatkan karena masing-masing memiliki kelemahan dan keunggulan. Mengingat sistem negara ini sama halnya dengan organisasi sosial masyarakat lainnya, maka sistem ini juga dapat berganti bentuk dan model, sesuai dengan yang diinginkan oleh anggota masyarakatnya. Dengan demikian, tidaklah mengherankan jika ada segolongan atau kelompok masyarakat yang berusaha untuk mengubah sistem negara ini menjadi berbagai macam bentuk sesuai dengan faham yang dianut oleh mereka.
Bangsa Indonesia telah memilih bentuk pemerintahan Republik sebagai cara untuk menjalankan sistem negara. Perjuangan para pejuang sejak zaman kolonial Belanda sampai saat proklamsi kemerdekaan 17 Agustus 1945 telah menjadi tonggak sejarah bagi bangsa Indonesia untuk menjadikan diri mereka sebagai bangsa yang utuh, terlepas dari cengkeraman bangsa mana pun. Secara ideologis, bangsa Indonesia juga telah menetapkan Pancasila sebagai ideologi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ciri ke-Indonesiaan selalu dikembangkan agar dapat membedakan antara Indonesia dan bangsa-bangsa lain yang ada di dunia ini.
Sebagai bagian dari masyarakat internasional, bangsa Indonesia tidak bisa melepaskan dirinya dari sistem internasional yang sedang berkembang. Hubungan dengan bangsa lain merupakan konsekuensi logis dari terjadinya interdependensi antar negara di dunia ini. Fenomena globalisasi telah mempertegas bahwa hubungan dengan negara atau bangsa lain di dunia ini merupakan suatu keharusan, mengingat adanya kelemahan dan kelebihan yang dimiliki oleh setiap bangsa di dunia ini. Hanya saja, wajah ke-Indonesiaan harus tetap dijaga, dijunjung tinggi dan dilestarikan. Wawasan kebangsaan harus tetap dijaga untuk tetap membangun loyalitas kebangsaan Indonesia. Ternyata, globalaisasi yang disertai dengan gejala interdependensi ini telah mempengaruhi wawasan kebangsaan sebagian masyarakat Indonesia. Bahkan, pada kelompok-kelompok strategis tertentu di masyarakat, misalnya NGO –termasuk ormas keagamaan--, telah berkembang pula ideologi yang dapat membahayakan nilai-nilai kebangsaan bangsa Indonesia. Munculnya organisasi keagamaan yang berorientasi pada trans-nasional akan dapat mereduksi wawasan kebangsaan Indonesia.
Ancaman Trans-Nasionalisasi Potensi Nasional
Berdasarkan struktur hubungan keanggotaan, organisasi internasional dapat dibedakan menjadi tiga tipe, yakni IGOs (Inter-Governmental Organizations), INGOs (Inter- Non Governmental Organizations) dan TOs (Trans-National Organizations) . Pada tipe IGOs dan INGOs, tidak terjadi hubungan yang hirarkis dalam keanggotaan. Anggota Organsasi pada kedua tipe ini memiliki indepedensi yang sangat besar untuk tetap bergabung atau keluar dari organisasi. Sifat keanggotaan yang sukarela itu akan memberikan peluang bagi angotanya untuk tetap memiliki loyalitas kepada negara asal anggota. Kebebasan ini tidak dimiliki oleh angota organisasi internasional yang bertipe Organisasi Trans Nasional (TOs). Pada tipe ini, organisasi tidak dibangun atas dasar sukarela dalam aktivitasnya, melainkan berdasarkan hirarki yang sangat ketat. Hirarki pada TOs diterapkan secara ketat oleh organisasi perusahaan multi nasional (MNCs) . Loyalitas anggota tidak berlaku untuk negara tempat anggota berdomisili karena loyalitas yang dikembangkan berorientasi pada hirarki di atasnya, meskipun terletak di negara lain atau melewati batas yurisdiksi suatu negara. Dalam MNCs ini, standarisasi diterapkan secara ketat berdasarkan standar yang telah ditetapkan oleh pusatnya. Oleh karenanya, anggota tidak memiliki kebebasan untuk menentukan arah aktivitasnya, termasuk membangun loyalitas kebangsaan.
Fenomena trans-nasional ini juga telah berkembang memasuki wilayah organisasi-organisasi non pemerintah yang tidak berorientasi profit seperti halnya MNCs. Bahkan, gejala ini juga merambah organisasi keagamaan, yang membangun loyalitas pada organsasi yang sifatnya menginternasional. Biasanya, organisasi ini memiliki struktur hirarki layaknya MNCs, meskipun dalam operasionalnya kadang kala tidak terlihat sebagai sebuah struktur hirarkis mengingat model hubungan yang dikembangkan dalam hubungan hirarki tersebut tidak sama dengan MNCs. Hubungan hirarki pada MNCs memang terlihat lebih tegas, bahkan terkesan sangat birokratis. Sedangkan pada organisasi Trans Nasional non MNCs, hubungan hirarkis tidak begitu kentara mengingat mereka lebih mengedapnkan hubungan psikologis sesama manusia, di samping juga agar dapat lebih mudah untuk menyebarluaskan ideologi mereka. Namun demikian, prinsipnya tetap sama, yakni dapat berakibat pada tereduksinya wawasan kebangsaan bagi anggota organisasi yang bersangkutan.
Dengan membangun loyalitas kepada struktur hirarki di atasnya, maka potensi nasional yang dimiliki oleh suatu bangsa akan dengan sendirinya beralih kepada loyalitas eksternal. Jika hal ini dibiarkan, maka potensi yang dimiliki oleh suatu bangsa akan tereliminir dan nilai-nilai kebangsaan di suatu negara akan menjadi terancam, tidak terkecuali negara Indonesia. Berkembangnya ide-ide trans-nasionalisme pada masyarakat Indonesia saat ini akan dapat mengancam keberlangsungan Negara Indonesia. Jika loyalitas masyarakat Indonesia yang mengembangkan ideologi tertentu sudah bergeser kepada “dunia yang lain”, maka loyalitas terhadap kebangsaan Indonesia yang telah diperjuangkan oleh para pendahulu kita dengan pengorbanan jiwa dan raga akan menjadi ancaman yang cukup serius. Oleh karenanya, kita perlu mewaspadai gerakan-gerakan yang dapat mereduksi nilai-nilai kejuangan dan kebangsaan bangsa Indonesia melalui gerakan-gerakan trans-nasional yang sudah berlangsung selama ini.
Posisi Muhammadiyah
Indonesia memang sangat heterogen dalam berbagai macam hal. Heterogenitas ini akan dapat menjadi ancaman terhadap kesatuan dan persatuan jika tidak dikelola secara baik dan tepat. Indonesia yang memiliki mayoritas penduduk Muslim ini akan sangat mudah dipengaruhi melalui ajaran Islam yang dianutnya. Dalam sejarah Indonesia, isu agama merupakan isu yang sangat sensitif dan akan sangat mudah menjadi pemicu konflik horisontal. Inilah yang kemudian akan dapat menjadi ancaman nyata bagi kesatuan dan persatuan Indonesia. Ormas Islam termasuk salah satu kelompok strategis yang dapat menentukan arah dan keberlangsungan bangsa ini. Oleh karenanya, peran yang harus dimainkan oleh Ormas Islam, hendaknya selalu mendukung ke arah pengembangan wawasan ke-Indonesiaan, bukan sebaliknya yang akan dapat menghancurkan persatuan dan kesatuan bangsa atau membangun loyalitas kepada ideologi lain yang tidak berwawasan kebangsaan.
Dalam Islam, perbedaan merupakan sunatullah, termasuk perbedaan dalam berbangsa. Oleh karenanya, dunia yang sekarang terdiri atas berbagai macam bangsa, dengan sistem negaranya masing-masing tentulah merupakan salah satu bentuk sunatullah, seperti yang terdapat dalam surat Al-Hujurat 13. Tentunya, ide-ide yang bermuara pada pembentukan negara berskala internasional, baik berdasarkan Islam atau ideologi lainnya, hanyalah menjadi isu dan alat untuk mencapai kepentingan-kepentingan tertentu. Apalagi hal itu dilakukan dengan cara membangun fanatisme ummat secara berlebihan tanpa melihat realitas yang sekarang sedang dihadapi oleh masyarakat. Dalam sistem dunia sekarang, upaya pembentukan Pemerintahan Dunia (World Government) tidak pernah tercapai. Bahkan, ide pembentukan Pemerintahan Dunia (World Government) dapat disebut sebagai ide yang utopia. Kita bisa melihat sejarah Romawi yang berambisi untuk menguasai dunia dengan menjadikan Romawi sebagai Imperium (Holy Roman Empire - HRE), nyatanya kandas dan hanya menjadi bagian dari sejarah. Demikian juga halnya dengan kekuasaan Turki Utsmani (Ottoman Turky), yang akhirnya tinggal sejarah. Banyak lagi contoh yang dapat disebutkan untuk mempertegas bahwa piulihan transnasionalisasi dalam bidang politik bukanlah suatu pilihan strtagis untuk menjalankan dakwah Islamiyah, bahkan dapat dipertegas lagi bahwa sistem negara yang sekarang sedang dianut merupakan pilihan masyarakat dan umurnya dapat bertahan cukup lama, bukannya sistem Pemertintahan Dunia yang dicita-citakan oleh kelompok-kelompok tertentu, termasuki sebgian kelompok Islam yang baru muncul belakangan di belahan dunia ini, termasuk di Indonesia.
Di sinilah letak peran ormas Islam dalam memelihara wawasan kebangsaan. Tokoh-tokoh Islam zaman pergerakan dapat menjadi cotoh untuk melihat akan kecintaan mereka kepada Indonesia. Upaya untuk menjadikan ajaran Islam secara struktural formal telah terbukti selalu kontra produktif dalam penegakan ajaran Islam itu sendiri. Masyarakat tidak akan pernah menaruh simpati teradap gerakan-gerakan yang hanya mengatasnamakan Islam, padahal kadangkala aktivitasnya telah bergeser dari ajaran Islam yang sesungguhnya. Pemahaman yang tepat akan ajaran merupakan kebutuhan yang mendesak untuk dilakukan oleh ormas Islam dalam rangka menghindari munculnya pembelokan agama untuk kepentingan yang menyesatkan.
Posisi yang diambil oleh Muhammadiyah, menurut saya sudah sangat tepat. Meskipun Muhammadiyah memiliki pengikut di berbagai negara, namun Muhammadiyah tidak memilih bentuk pemerintahan dunia atau transnasionalisme sebagai strategi gerakan. Muhammmadiyah tetap berada adalam koridor keIndonesiaan, tampa harus menamakan atau memperjuangkan bentuk-bentuk organisasi trans-nasional. Jika dilihat dari sumber daya yang dimiliki, Muhammadiyah berpeluang dan memenuhi syarat untuk memproklamirkan dirinya sebagai organisasi trans-nasional, namun hal itu tidak dipilih sebagai pilihan ideologi gerakan. Sepertinya, Muhammadiyah perlu mempertahankan ide tersebut dalam rangka memantapkan gerak dan langkahnya pada Abad kedua nanti.
(aNfA')
0 comments:
Post a Comment