26 Feb 2013

Mencari Peluang Mentradisikan Paham Muhammadiyah Dalam Masyarakat

Mencari Peluang Mentradisikan Paham Muhammadiyah
Dalam Masyarakat

“ Seorang teman mengatakan bahwa matinya orang Muhammadiyah seperti matinya seekor kucing miliknya, karena tidak ditahlilkan dan diselamatkan.....,
tentu saja karena kucingmu itu kucing Muhammadiyah, begitu jawabku

Dialog diatas terjadi ketika saya dan teman-teman “berdebat” kalau tidak mau dikatakan mengolok-olok kebiasaan organisasi dalam peribadatan dan keseharian seperti tahlilan, yasinan, ziarah kubur dan lain sebagainya disuatu perguruan Muhammadiyah menengah atas. Maklumlah karena tidak semua siswa adalah warga Muhammadiyah sehingga walaupun sudah diajarkan KEMUH dan Al-ISLAM masih saja tidak paham atau tidak mau tahu karena sudah terlanjur mendarah daging.
Saat jawaban saya meluncur teman saya merah padam sementara teman lainnya tertawa terbahak-bahak walaupun tidak disadari mereka dan keluarganya terbiasa menjalankannya, padahal mereka bukan anggota organisasi NU atau lainnya, mereka hanya menjalankan kebiasaan yang sudah terlanjur melekat dimasyarakat itu, karena saking ngetrennya tradisi ini rupanya masih ada saja warga Muhammadiyah yang menjalankannya padahal sudah jelas-jelas Muhammadiyah sangat ingin membersihkan tradisi ini, parahnya lagi jika yang sudah duduk dipimpinan juga masih enggan alias nggak enak meninggalkan tradisi tersebut.
Tradisi ini semakin naik daun nggak turun-turun karena dibantu mempopulerkannya para tokoh publik dan artis baik di media news maupun media gosip ketika mereka atau keluarganya meninggal dunia, masih jelas diingatan kita bukan?, ketika artis Taufik Safalas, artis dan da'i KH. Gito Rolis serta yang paling menghebohkan meninggalnya mantan Presiden H. Soeharto, bagaimana keluarga mereka merayakan kepergiannya dengan begitu megah dan spektakuler, padahal pak Harto sendiri pernah mengaku sebagai bibit Muhammadiyah, apakah berarti pak Harto tidak bisa mendidik anak-anaknya untuk menjalankan kebenaran atau justru Muhammadiyahlah yang belum mampu menjadikan pahamnya secara otomatis akan dijalankan warganya. Saya selalu berharap dikemudian hari ada tokoh Muhammadiyah yang wafat kemudian keluarganya menjalankan paham Muhammadiyah dan terekspos kemedia sehingga paham Muhammadiyah paling tidak dikenalkan kepada publik, bukan kemudian saya berharap ada tokoh kita yang wafat, bukan begitu, tetapi agar masyarakat mempunyai pilihan bahwa ada hal yang lebih baik dilakukan ketika mendapatkan musibah tersebut.
Keadaan di lapangan
Ketika saya berpindah domisili, saya melihat ternyata Paham Muhamadiyah memang belum terjalankan dengan baik seperti didomisili terdahulu dan saya mengira didaerah lain tidak berbeda jauh artinya masih belum merata terjalankannya paham disetiap tempat, saya kira ada hal yang dapat dianalisa dan diambil pelajaran dari keadaan yang ada.
Pertama, Peran pimpinan dalam menyampaikan Paham masih sekedar pidato resmi dan atau pengajian umum, tidak disertai action bagaimana dan acara seperti apa yang akan dijadikan penggantinya, akhirnya saya lihat banyak warga yang masih binggung, acara seperti apa yang seharusnya akan dilakukan seperti yang telah difahamkan, dalam situasi yang tidak terencana pastilah mereka mengambil jalan yang sudah terbiasa dan “umum” dilakukan masyarakat setempat.
Kedua, Warga Muhammadiyah sendiri tidak konsisten terhadap Paham, warga yang demikian ini biasanya malu, nggak enak dan tidak mau jika dikatakan tidak bertetangga/ bermasyarakat dengan baik, apalagi jika masih saudara dan keluarga pasti tidak ada kata “tidak” yang terucap, mereka beranggapan bahwa bermasyarakat dengan baik itu diukur dengan rutinnya mengikuti tahlilan, yasinan dan sejenisnya. Padahal masih banyak hal lain yang bisa dilakukan untuk menjadi anggota masyarakat yang baik.
Ketiga, Aturan RT atau Desa disuatu desa tertentu lebih kuat dari pada Paham Muhammadiyah, dibeberapa daerah ikatan terhadap aturan desa/RT sangat kuat, karena desa sendiri mengatur poin- poin peraturan dalam pengurusan kematian, aturan itu meliputi pengurusan jenazah sampai tahlilan malam harinya sehingga dibutuhkan mental dan kemauan kuat untuk menghindarinya.
Hal demikianlah yang menjadi permasalahan klasik yang sebenarnya ingin dihindari dan dirubah oleh warga Muhammadiyah yang tidak konsisten itu sendiri, walaupun hanya terkadang berupa keprihatinan dan wacana belaka. Tapi kita lihat didaerah lain ternyata banyak yang sukses dan tidak ada masalah bahkan bisa mempengaruhi masyarakat sekitarnya, berikut ini sebagian bisa kita ambil pelajarannya.
Pertama, Pimpinan duduk bersama membicarakan actionnya, bisa membentuk tim khusus membidangi kematian, dengan agenda ; mengurusi jenazah sampai memanajemen acara malam harinya dengan menghilangkan bid'ah yang biasa dilaksanakan, tak lupa menangani masalah konsumsi untuk tamu dan keluarga yang berduka, sehingga keluarga terhindar dari kesibukan dalam menyediakan makanan seperti layaknya sedang berpesta. Acara malam hari dimanajemen karena adanya kebiasaan yang sudah memasyarakat dan kita perlu mengatur acara itu sebagai penggantinya, jangan berfikir untuk membiarkannya tanpa manajemen sehingga pastilah malam hari itu diisi oleh kebiasaan yang berlaku, karena tawaran atau rayuan agar dilakukan seperti “keumuman masyarakat” pasti terjadi, kecuali pada keluarga yang paham Muhammadiyahnya kuat dan pada keluarga yang sepaham ( tidak heterogen dalam satu keluarga).
Kedua, Warga Muhammadiyah harus punya semangat serta niat yang kuat untuk merobohkan lingkaran kebiasaan ini, apabila tidak semangat, pasti ada saja alasan dan kendalanya, kebanggaan dan pemahaman terhadap Paham juga harus tinggi, dengan cara menolak secara halus apabila diundang, sekaligus tidak “menggelar acara” apabila sedang berduka, bisa diawali dengan menjelaskan dengan bijak sebelum terjadi musibah /berwasiat (bagi keluarga heterogen) awalnya pasti menjadi pembicaraan, gunjingan dan celaan sebagai warga masyarakat, tetapi lambat laun namun pasti celaan dan gunjingan itu akan hilang bersamaan dengan Paham Muhammdiyah yang kemudian memasyarakat dan mereka akan memakhluminya syukur-syukur bisa mengikutinya.
Ketiga, jika Muhammadiyah sudah mempunyai tim yang mengurusi kematian, warga bisa menentukan sikap dan warga tidak lagi kebingungan menentukan acara, karena biasanya yang terjadi warga langsung menyerahkan segala urusan kepada pak lebe, nah pastilah tradisi yang digunakan bukan paham muhammadiyah, jika diperlukan pimpinan bisa membicarakan dengan pemerintahan desa dan menawarkan kepada masyarakat umum apabila mengendaki boleh menggunakan tim dari Muhammadiyah.
Pelaku perubahan
Jadi yang menjadi pelaku perubahan adalah Pimpinan, anggota/warga Muhammadiyah dan pemerintah desa/ masyarakat. Pimpinan dan warga sebagai pihak dalam (pelaku) harus bisa bekerjasama seiring sejalan, punya niat dan kemauan untuk merubah tradisi yang tidak benar ini dan memulai action ini. Tak kalah pentingnya pimpinan diatasnya untuk mengontrol dan mengevaluasi pelaksanaan program ini. Sementara pemerintah desa/ warga masyarakat selaku pihak luar, kita bisa mengabaikannya saja, walaupun turut mempengaruhi namun saya yakin Muhammadiyah sudah punya power untuk bisa mengalahkan kekuasaannya dalam mengatur peribadatan ini dan Muhammadiyah mempunyai power “kebiasaan” tampil beda dalam kebenaran, bukankah Muhammadiyah sudah berhasil dalam membiasakan sholat Hari raya di tanah lapang?.Dan perkembangan Muhammadiyah sekarang sudah sangat dihargai oleh semua kalangan, tentu ini dapat menjadi modal yang mendukung.
Penutup
Dalam setiap kegiatan keorganisasian dan dakwah, keberhasilan adalah hal yang menjadi keinginan dan harapan, namun kegagalan bisa juga membayanginya. Bukan bermaksud untuk menyelisihi tapi lebih untuk memotivasi, jika dalam menjalankan ajaran Islam yang diunggulkan adalah prosesnya daripada hasil, namun disini yang dibutuhkan adalah hasilnya, entah dengan cara proses yang bagaimana yang penting adalah mengakarnya paham Muhammadiyah didalam kehidupan warga Muhammadiyah khususnya dan masyarakat pada umumnya,Amin.

Yoeni Wahyu (PDNA Batang)






0 comments: