Mencari Peluang Mentradisikan Paham Muhammadiyah
Dalam
Masyarakat
“ Seorang teman
mengatakan bahwa matinya orang Muhammadiyah seperti matinya seekor kucing
miliknya, karena tidak ditahlilkan dan diselamatkan.....,
tentu saja karena
kucingmu itu kucing Muhammadiyah, begitu jawabku
Dialog diatas terjadi ketika saya dan teman-teman “berdebat” kalau
tidak mau dikatakan mengolok-olok kebiasaan organisasi dalam peribadatan dan
keseharian seperti tahlilan, yasinan, ziarah kubur dan lain sebagainya disuatu
perguruan Muhammadiyah menengah atas. Maklumlah karena tidak semua siswa adalah
warga Muhammadiyah sehingga walaupun sudah diajarkan KEMUH dan Al-ISLAM masih
saja tidak paham atau tidak mau tahu karena sudah terlanjur mendarah daging.
Saat
jawaban saya meluncur teman saya merah padam sementara teman lainnya tertawa
terbahak-bahak walaupun tidak disadari mereka dan keluarganya terbiasa
menjalankannya, padahal mereka bukan anggota organisasi NU atau lainnya, mereka
hanya menjalankan kebiasaan yang sudah terlanjur melekat dimasyarakat itu,
karena saking ngetrennya tradisi ini rupanya masih ada saja warga
Muhammadiyah yang menjalankannya padahal sudah jelas-jelas Muhammadiyah sangat
ingin membersihkan tradisi ini, parahnya lagi jika yang sudah duduk dipimpinan
juga masih enggan alias nggak enak meninggalkan tradisi tersebut.
Tradisi ini semakin naik daun nggak turun-turun karena
dibantu mempopulerkannya para tokoh publik dan artis baik di media news
maupun media gosip ketika mereka atau keluarganya meninggal dunia, masih jelas
diingatan kita bukan?, ketika artis Taufik Safalas, artis dan da'i KH.
Gito Rolis serta yang paling menghebohkan meninggalnya mantan Presiden H.
Soeharto, bagaimana keluarga mereka merayakan kepergiannya dengan begitu megah
dan spektakuler, padahal pak Harto sendiri pernah mengaku sebagai bibit
Muhammadiyah, apakah berarti pak Harto tidak bisa mendidik anak-anaknya untuk
menjalankan kebenaran atau justru Muhammadiyahlah yang belum mampu menjadikan
pahamnya secara otomatis akan dijalankan warganya. Saya selalu berharap
dikemudian hari ada tokoh Muhammadiyah yang wafat kemudian keluarganya
menjalankan paham Muhammadiyah dan terekspos kemedia sehingga paham
Muhammadiyah paling tidak dikenalkan kepada publik, bukan kemudian saya
berharap ada tokoh kita yang wafat, bukan begitu, tetapi agar masyarakat
mempunyai pilihan bahwa ada hal yang lebih baik dilakukan ketika mendapatkan
musibah tersebut.
Keadaan di lapangan
Ketika
saya berpindah domisili, saya melihat ternyata Paham Muhamadiyah memang belum
terjalankan dengan baik seperti didomisili terdahulu dan saya mengira didaerah
lain tidak berbeda jauh artinya masih belum merata terjalankannya paham
disetiap tempat, saya kira ada hal yang dapat dianalisa dan diambil pelajaran
dari keadaan yang ada.
Pertama, Peran pimpinan dalam menyampaikan Paham masih sekedar
pidato resmi dan atau pengajian umum, tidak disertai action bagaimana
dan acara seperti apa yang akan dijadikan penggantinya, akhirnya saya lihat
banyak warga yang masih binggung, acara seperti apa yang seharusnya akan
dilakukan seperti yang telah difahamkan, dalam situasi yang tidak terencana
pastilah mereka mengambil jalan yang sudah terbiasa dan “umum” dilakukan
masyarakat setempat.
Kedua, Warga Muhammadiyah sendiri tidak konsisten terhadap Paham,
warga yang demikian ini biasanya malu, nggak enak dan tidak mau jika
dikatakan tidak bertetangga/ bermasyarakat dengan baik, apalagi jika masih
saudara dan keluarga pasti tidak ada kata “tidak” yang terucap, mereka
beranggapan bahwa bermasyarakat dengan baik itu diukur dengan rutinnya
mengikuti tahlilan, yasinan dan sejenisnya. Padahal masih banyak hal lain yang
bisa dilakukan untuk menjadi anggota masyarakat yang baik.
Ketiga, Aturan RT atau Desa disuatu desa tertentu lebih kuat dari
pada Paham Muhammadiyah, dibeberapa daerah ikatan terhadap aturan desa/RT
sangat kuat, karena desa sendiri mengatur poin- poin peraturan dalam pengurusan
kematian, aturan itu meliputi pengurusan jenazah sampai tahlilan malam harinya
sehingga dibutuhkan mental dan kemauan kuat untuk menghindarinya.
Hal
demikianlah yang menjadi permasalahan klasik yang sebenarnya ingin dihindari
dan dirubah oleh warga Muhammadiyah yang tidak konsisten itu sendiri, walaupun
hanya terkadang berupa keprihatinan dan wacana belaka. Tapi kita lihat didaerah
lain ternyata banyak yang sukses dan tidak ada masalah bahkan bisa mempengaruhi
masyarakat sekitarnya, berikut ini sebagian bisa kita ambil pelajarannya.
Pertama,
Pimpinan duduk bersama membicarakan actionnya, bisa membentuk tim khusus
membidangi kematian, dengan agenda ; mengurusi jenazah sampai memanajemen acara
malam harinya dengan menghilangkan bid'ah yang biasa dilaksanakan, tak lupa
menangani masalah konsumsi untuk tamu dan keluarga yang berduka, sehingga
keluarga terhindar dari kesibukan dalam menyediakan makanan seperti layaknya
sedang berpesta. Acara malam hari dimanajemen karena adanya kebiasaan yang
sudah memasyarakat dan kita perlu mengatur acara itu sebagai penggantinya,
jangan berfikir untuk membiarkannya tanpa manajemen sehingga pastilah malam
hari itu diisi oleh kebiasaan yang berlaku, karena tawaran atau rayuan agar
dilakukan seperti “keumuman masyarakat” pasti terjadi, kecuali pada keluarga
yang paham Muhammadiyahnya kuat dan pada keluarga yang sepaham ( tidak
heterogen dalam satu keluarga).
Kedua,
Warga Muhammadiyah harus punya semangat serta niat yang kuat untuk merobohkan
lingkaran kebiasaan ini, apabila tidak semangat, pasti ada saja alasan dan
kendalanya, kebanggaan dan pemahaman terhadap Paham juga harus tinggi, dengan
cara menolak secara halus apabila diundang, sekaligus tidak “menggelar acara”
apabila sedang berduka, bisa diawali dengan menjelaskan dengan bijak sebelum
terjadi musibah /berwasiat (bagi keluarga heterogen) awalnya pasti menjadi
pembicaraan, gunjingan dan celaan sebagai warga masyarakat, tetapi lambat laun
namun pasti celaan dan gunjingan itu akan hilang bersamaan dengan Paham
Muhammdiyah yang kemudian memasyarakat dan mereka akan memakhluminya
syukur-syukur bisa mengikutinya.
Ketiga,
jika Muhammadiyah sudah mempunyai tim yang mengurusi kematian, warga bisa
menentukan sikap dan warga tidak lagi kebingungan menentukan acara, karena
biasanya yang terjadi warga langsung menyerahkan segala urusan kepada pak
lebe, nah pastilah tradisi yang digunakan bukan paham muhammadiyah, jika
diperlukan pimpinan bisa membicarakan dengan pemerintahan desa dan menawarkan
kepada masyarakat umum apabila mengendaki boleh menggunakan tim dari
Muhammadiyah.
Pelaku perubahan
Jadi
yang menjadi pelaku perubahan adalah Pimpinan, anggota/warga Muhammadiyah dan
pemerintah desa/ masyarakat. Pimpinan dan warga sebagai pihak dalam (pelaku)
harus bisa bekerjasama seiring sejalan, punya niat dan kemauan untuk merubah
tradisi yang tidak benar ini dan memulai action ini. Tak kalah
pentingnya pimpinan diatasnya untuk mengontrol dan mengevaluasi pelaksanaan
program ini. Sementara pemerintah desa/ warga masyarakat selaku pihak luar,
kita bisa mengabaikannya saja, walaupun turut mempengaruhi namun saya yakin
Muhammadiyah sudah punya power untuk bisa mengalahkan kekuasaannya dalam
mengatur peribadatan ini dan Muhammadiyah mempunyai power “kebiasaan”
tampil beda dalam kebenaran, bukankah Muhammadiyah sudah berhasil dalam
membiasakan sholat Hari raya di tanah lapang?.Dan perkembangan Muhammadiyah
sekarang sudah sangat dihargai oleh semua kalangan, tentu ini dapat menjadi
modal yang mendukung.
Penutup
Dalam
setiap kegiatan keorganisasian dan dakwah, keberhasilan adalah hal yang menjadi
keinginan dan harapan, namun kegagalan bisa juga membayanginya. Bukan bermaksud
untuk menyelisihi tapi lebih untuk memotivasi, jika dalam menjalankan ajaran
Islam yang diunggulkan adalah prosesnya daripada hasil, namun disini yang
dibutuhkan adalah hasilnya, entah dengan cara proses yang bagaimana yang
penting adalah mengakarnya paham Muhammadiyah didalam kehidupan warga
Muhammadiyah khususnya dan masyarakat pada umumnya,Amin.
Yoeni Wahyu (PDNA Batang)
0 comments:
Post a Comment