27 Jul 2013

BUKAN AJI MUMPUNG


BUKAN AJI MUMPUNG...


Oleh : Azizah Herawati, S.Ag.(Ketua V PWNA Jawa Tengah)
Ramadlan adalah bulan agung  yang ditunggu-tunggu oleh siapapun. RasuluLlah SAW pun memotivasi kita untuk meningkatkan amaliah di bulan ini, bahkan beliau sudah mentarhib (menyambut gembira) sejak dua bulan sebelumnya, yakni di bulan Rajab dan Sya’ban. Sehingga begitu tiba Ramadlan, benar-benar sudah siap untuk melakukan amaliah di bulan Ramadlan.  Gambaran keagungan, keberkahan, berlipat gandanya pahala yang diperoleh dan adanya malam yang lebih baik dari seribu bulan yang dipaparkan Rasulullah SAW dalam khutbah beliau setiap menjelang Ramadlan memacu kaum muslimin  untuk meningkatkan amaliahnya di bulan ini, berlomba-lomba memenuhi masjid dan musholla, membagi makanan untuk berbuka, membagi sembako, bersedekah, menyantuni fakir miskin dan anak yatim dan lain sebagainya. Tentu saja hal ini sangat memberi pengaruh positif bagi masyarakat apabila hal ini terus dilestarikan tidak hanya di bulan Ramadlan. Namun kenyataan di sebagian masyarakat kita, Ramadlan hanya dijadikan ajang ‘aji mumpung’. Rajin berjamaah di masjid, mumpung Ramadlan. Menyantuni fakir miskin dan anak yatim, mumpung Ramadlan. Membagi sembako juga mumpung Ramadlan dan masih banyak lagi yang intinya semua dilakukan semata-mata untuk mendulang pahala berlimpah yang Allah SWT janjikan.
Bukan berarti hal ini tidak benar, tetapi yang perlu dijadikan catatan bagi kita adalah bahwa yang seharusnya ditanamkan pada diri setiap muslim adalah adanya niat yang lurus dan ikhlas karena Allah, bahkan kalaupun Allah SWT tidak melipat gandakan pahala sekalipun, tetap dilakukan. Dan harus diyakini juga bahwa tidak hanya di bulan Ramadlan Allah SWT menjanjikan pahala bagi mereka yang beramal di jalan Allah SWT, bahkan dilipatgandakan tujuh ratus kali (lihat QS Al-Baqarah [2] : 261).  Hal yang tidak kalah penting untuk dicatat adalah bahwa  yang lebih dipentingkan dalam beribadah adalah keistiqomahan (keajegan) kita dalam melakukannya. Di bulan Ramadlan banyak beribadah, tapi begitu datang bulan Syawal, semua berkurang bahkan berakhir. Bukankah Rasulullah SAW mengingatkan bahwa ‘Sebaik-baik urusan adalah keajegannya (berkesinambungan) walaupun sedikit’? Khatam Al-Qur’an di bulan Ramadlan, tapi setelah Ramadlan tidak pernah dibaca lagi. Bersedekah luar biasa banyak di bulan Ramadlan, di luar Ramadlan tidak lagi dilakukan dan masih banyak lagi. Tentu hal ini tidak dibenarkan. Ramadlan sering diibaratkan Bulan Penggemblengan, dengan harapan di bulan-bulan berikutnya akan lebih baik. Oleh karena itu bulan setelah Ramadlan disebut Syawal yang berarti bulan peningkatan, tentu yang diharapkan meningkat adalah amaliahnya.
Akhir pencapaian dari shoum Ramadlan adalah kembalinya kepada fitrah (kesucian). Nah, salah satu indikator kembalinya seseorang kepada fitrah adalah terus terjaganya kualitas dan kuantitas dalam beribadah (istiqomah). Menjaga ki-istiqomah-an inilah yang sulit. Ibarat mempertahankan tropy kejuaraan, tentu lebih sulit daripada saat meraihnya. Ada berbagai aspek yang merupakan tanda-tanda orang yang puasanya diterima (mabrur) dan terlihat di luar bulan Ramadlan, yakni menebarkan keselamatan (ifsyaaussalaam), baik bicaranya (thiibul kalaam), memberi makan (ith’aamuththo’aam) dan sholat malam (qiyaamullail).  Kalau empat hal ini masih dijaga di luar Ramadlan, insyaLlah kita benar-benar layak memperoleh kemenangan. Jadi, tidak sebatas ‘mumpung Ramadlan’.Waallahu a’lam

0 comments: