BUKAN
AJI MUMPUNG...
Oleh : Azizah Herawati, S.Ag.(Ketua V
PWNA Jawa Tengah)
Ramadlan adalah bulan agung yang ditunggu-tunggu oleh siapapun. RasuluLlah
SAW pun memotivasi kita untuk meningkatkan amaliah di bulan ini, bahkan beliau
sudah mentarhib (menyambut gembira) sejak dua bulan sebelumnya, yakni di bulan
Rajab dan Sya’ban. Sehingga begitu tiba Ramadlan, benar-benar sudah siap untuk
melakukan amaliah di bulan Ramadlan. Gambaran
keagungan, keberkahan, berlipat gandanya pahala yang diperoleh dan adanya malam
yang lebih baik dari seribu bulan yang dipaparkan Rasulullah SAW dalam khutbah
beliau setiap menjelang Ramadlan memacu kaum muslimin untuk meningkatkan amaliahnya di bulan ini,
berlomba-lomba memenuhi masjid dan musholla, membagi makanan untuk berbuka,
membagi sembako, bersedekah, menyantuni fakir miskin dan anak yatim dan lain
sebagainya. Tentu saja hal ini sangat memberi pengaruh positif bagi masyarakat
apabila hal ini terus dilestarikan tidak hanya di bulan Ramadlan. Namun
kenyataan di sebagian masyarakat kita, Ramadlan hanya dijadikan ajang ‘aji
mumpung’. Rajin berjamaah di masjid, mumpung Ramadlan. Menyantuni fakir miskin
dan anak yatim, mumpung Ramadlan. Membagi sembako juga mumpung Ramadlan dan
masih banyak lagi yang intinya semua dilakukan semata-mata untuk mendulang
pahala berlimpah yang Allah SWT janjikan.
Bukan berarti hal ini tidak benar, tetapi
yang perlu dijadikan catatan bagi kita adalah bahwa yang seharusnya ditanamkan
pada diri setiap muslim adalah adanya niat yang lurus dan ikhlas karena Allah,
bahkan kalaupun Allah SWT tidak melipat gandakan pahala sekalipun, tetap
dilakukan. Dan harus diyakini juga bahwa tidak hanya di bulan Ramadlan Allah
SWT menjanjikan pahala bagi mereka yang beramal di jalan Allah SWT, bahkan
dilipatgandakan tujuh ratus kali (lihat QS Al-Baqarah [2] : 261). Hal yang tidak kalah penting untuk dicatat
adalah bahwa yang lebih dipentingkan dalam
beribadah adalah keistiqomahan (keajegan) kita dalam melakukannya. Di bulan
Ramadlan banyak beribadah, tapi begitu datang bulan Syawal, semua berkurang
bahkan berakhir. Bukankah Rasulullah SAW mengingatkan bahwa ‘Sebaik-baik
urusan adalah keajegannya (berkesinambungan) walaupun sedikit’?
Khatam Al-Qur’an di bulan Ramadlan, tapi setelah Ramadlan tidak pernah dibaca
lagi. Bersedekah luar biasa banyak di bulan Ramadlan, di luar Ramadlan tidak
lagi dilakukan dan masih banyak lagi. Tentu hal ini tidak dibenarkan. Ramadlan
sering diibaratkan Bulan Penggemblengan, dengan harapan di bulan-bulan
berikutnya akan lebih baik. Oleh karena itu bulan setelah Ramadlan disebut
Syawal yang berarti bulan peningkatan, tentu yang diharapkan meningkat adalah
amaliahnya.
Akhir pencapaian dari
shoum Ramadlan adalah kembalinya kepada fitrah (kesucian). Nah, salah satu
indikator kembalinya seseorang kepada fitrah adalah terus terjaganya kualitas
dan kuantitas dalam beribadah (istiqomah). Menjaga ki-istiqomah-an inilah yang
sulit. Ibarat mempertahankan tropy kejuaraan, tentu lebih sulit daripada saat
meraihnya. Ada berbagai aspek yang merupakan tanda-tanda orang yang puasanya
diterima (mabrur) dan terlihat di luar bulan Ramadlan, yakni menebarkan
keselamatan (ifsyaaussalaam), baik bicaranya (thiibul kalaam),
memberi makan (ith’aamuththo’aam) dan sholat malam (qiyaamullail).
Kalau empat hal ini masih dijaga di luar
Ramadlan, insyaLlah kita benar-benar layak memperoleh kemenangan. Jadi, tidak
sebatas ‘mumpung Ramadlan’.Waallahu a’lam
0 comments:
Post a Comment